Rabu, 22 April 2009

PEREMPUANKU

Kupeluk erat tubuhnya. Kuciumi kedua pipi dan dahinya. Kuberikan belaian kasih sayang di rambutnya yang terurai. Kupandangi raut wajahnya. Gurat-gurat kecantikan tampak tersirat. Juga gurat-gurat semangat dan gairah kehidupan. “Bi, jangan kerja dong” dia merajuk seperti yang lalu-lalu. Aku hanya tersenyum, dia tahu bahwa permintaan itu akan sulit dikabulkan. Dia sangat mengerti kesibukanku. Ada kesepian terpancar dari ucapan dan tatapan matanya. Kulihat isyarat sayang kepadaku, ge-er, insya Allah begitu. Pagi ini dia bertanya, kenapa mama tidak telepon ya? Keresahan akan keadaan keluarga terutama mama membuatnya berjuang membela kepentingan dan masa depan mereka. Bagaimana pun kerinduan akan mereka tetap terbuncah meskipun ada suami dan anak-anak yang menemani. Perjuangan itu diawali dengan keinginan mengkuliahkan adik-adiknya. Keinginan itu sekarang sudah terkabulkan, itu cukup membuat adik-adiknya menatap kehidupan yang lebih baik. Mama sebisa mungkin dia bahagiakan di masa tuanya. Itulah yang sekarang dia lakukan. Baginya, kebahagiaan bukan hanya terpenuhinya kebutuhan jasmani. Lebih dari itu, kebutuhan rohani adalah yang paling utama karena itulah yang akan menentukan kebahagiaan kehidupan abadi nanti.

Liku kehidupan yang pernah dialami membuatnya tegar. Kesulitan pemenuhan kebutuhan lahir dan bathin membuatnya bertekad untuk memperbaikinya sekarang. Hari ini ia istirahat dari ujian akhir semester yang harus dilaluinya. Belajar, itulah yang menjadi rumus utama sepanjang kehidupan mengaliri jiwa raganya. Kesempatan untuk bisa merasakan bangku kuliah baru satu semester dia nikmati. Keinginan yang sudah lama terpendam. Pernah dia kuliah satu tahun di PGTK. Itu juga dia peroleh setelah menikah denganku. Keinginan untuk memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anak membuat dirinya berjuang membela haknya untuk menjadi pintar. Ketika kesempatan kuliah di depan mata, tak disia-siakannya. Usianya tidak lagi muda untuk mengejar pendidikan S1, 30 tahun. Memang banyak teman-teman seumurannya yang juga baru mengecap pendidikan S1 setelah mereka bekerja, namun kadang membuatnya agak minder dan bertanya, masih pantaskah aku kuliah, mampukah aku mengejar ketertinggalanku? Aku berusaha meyakinkan dirinya untuk terus berjuang mengejar cita-citanya untuk menjadi supermom yang mampu melahirkan cendekiawan-cendekiawan baru di ranah ilmu pengetahuan seperti ust. Didin Hafidhuddin, Syaikh Yusuf Qardhawi atau imam empat madzhab, atau pionir-pionir ilmu pengetahuan lainnya. Dia selalu berfikir, bagaimana mungkin akan lahir manusia-manusia sekaliber itu dari rumah kalau ibunya tidak pintar. Dia sering membaca bagaimana ibu-ibu para mujahid itu melahirkan dan mendidik mereka. Keinginan dia untuk membawa kami sekolah di kota-kota peradaban dunia Islam membuatnya berjuang mempelajari islam secara utuh. Kajian-kajian yang diikuti di masjid dan majlis-majlis taklim, belajar bahasa arab intensif, membuatnya semakin bersemangat untuk belajar di fakultas Ahwal Syakhsiyyah (Syari’ah) di salah satu universitas swasta di kota kami. Kecerdasannya membuat adaptasi pergaulannya begitu mudah. Semua kalangan bisa dia masuki dengan mudah. Aku teringat ketika kami menunaikan ibadah haji. Rombongan kami berasal dari kalangan yang berbeda. Ada yang kaya dan miskin, ada juga yang berpendidikan tinggi dan tidak. Namun itu tidak membuatnya bingung bergaul. Semua kalangan itu bisa dia masuki dengan mudah. Dia bisa bercanda dengan anak muda atau orang tua, dengan orang kaya atau orang miskin, dengan lulusan sarjana atau yang tidak sekolah. Dia tidak merasa minder atau tinggi hati. Semua dia pergauli dengan seimbang. Dinding strata social tidak berlaku ketika dia bergaul.

Namun, hidup tetaplah hidup, ada pro dan kontra, ada dukungan dan pertentangan, ada kebajikan dan keburukan, sunatullah yang tidak bisa dielakkan. Namun ada kemudahan dibalik kesukaran, ada turunan setelah tanjakan, ada hikmah dibalik peristiwa.

Pengalaman hidup yang pernah dialami membuatnya begitu tercambuk untuk memperbaiki penampilan dalam kehidupannya. Ketika wanita-wanita seusianya telah menikmati kehidupan hasil jerih payahnya di masa lalu, dia baru bersusah payah untuk mencari kehidupannya. Ketika wanita seusianya hanya berfikir tentang keluarga, maka dia membagi fikiran itu untuk dirinya juga. Masih terlalu banyak cita-cita yang ingin diraihnya. Masih terlalu banyak asa yang didambakannya. Obsesi utamanya adalah mengantarkan anak-anaknya menjadi mujahid dan pencari syahid di jalan Allah SWT.

Ketika agresi Israel berlangsung atas gaza, maka dia berlinang air mata menyaksikan itu semua. Aksi penentangan atas agresi itu pun diikuti dengan harapan do’anya dikabulkan oleh Allah SWT. Ketika itu pula pengetahuan tentang yahudi di perdalamnya. Dengan itu pula terkuak sedikit demi sedikit tentang HAMAS. Pembinaan yang mengedepankan hafalan al-Qur’an memotivasinya untuk mulai ikut menghafal dan mengingatkan anak-anaknya untuk itu.

Dialah perempuanku, mar’ah shalihahku. Setiap detak jantung dan ayunan langkahnya adalah perjuangan dalam meraih cita-cita kehidupan.

Aku hanya bisa berdo’a “semoga Allah memudahkan langkahnya, meringankan perjuangannya dan menepikan harapannya pada cita-cita sehingga akan lahir mujahid-mujahid tangguh dan akan hadir semerbak syahid dari rumah mungil kami, amin”

Wallahu ‘alam bishshowwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar